Tuesday, April 9, 2013

Terompet Tahun Baru


Cerpen: Dian Marfuah*)

Aku tertegun melihat hilir mudik orang dan lalu lalang kendaraan di jalan. Semrawut dan tidak beraturan sama sekali. Sementara langit Jogja sedari siang tadi muram dengan mendung putihnya yang tiada berganti. Ya, Jogja diguyur hujan sejak siang dan sampai sore ini pun belum reda juga.
sumber : www.santabanta.com
Aku berteduh disela-sela emperan toko yang sudah tutup, melindungi diriku dari guyuran air deras serta melindungi sisa daganganku yang harus habis untuk bekal makanku dan adik-adikku. Sedari tadi aku menawarkan koran kepada orang-orang yang berhenti di lampu merah ini, tapi mereka memilih untuk membeli terompet atau mercon dan kembang api untuk tahun barunan. Aku hanya menelan ludah saat kertas berisi informasi-informasi ini tak dilirik oleh mereka.
Mereka lebih memilih terompet dan kembang api itu sebagai bebunyian untuk merayakan pergantian tahun sehari lagi. Ketimbang melarisi daganganku yang sedari tadi masih menumpuk ditengah guyuran hujan seperti ini. Sekali lagi aku kalah dengan terompet tahun baru, sekalipun kukumpulkan seluruh tenagaku untuk menghabiskan sisa koran ini. Ah, tapi sia-sia belaka. Aku hanya akan semakin tersingkir dan belum lagi untuk setoran esok pagi aku harus mengeles apalagi kepada pak tua agen koran bosku itu.
Aku memutuskan untuk kembali ke rumah, meski sebetulnya bangunan itu tidak bisa kusebut rumah. Rumah itu hanya pemberian seseorang yang sangat berjasa kepadaku, pemilik rumah singgah. Rumah itu diberikan kepada kami anak-anak jalanan yang berusaha mencari penghasilan di lampu merah. Di rumah singgah itulah aku tinggal bersama kedua adik kandungku dan kawan-kawan sesama pengasong dan anak jalanan.
Risa adikku terlihat kuyu karena sejak tadi pagi kutinggal kerja ia belum makan, sementara si Dimas tertidur dengan pulasnya sembari mendekap mainan-mainan kertas buatanku. Tampaknya saking laparnya ia sampai ketiduran.
“Kamu lapar?” tanyaku, kudekati adik kecilku yang wajahnya kelaparan itu.
Ia hanya mengangguk dan menatapku dengan pertanda ingin cepat mengisi perutnya yang kosong sedari pagi itu.
“Tunggu sebentar ya, kakak beli makan. Dimas dibangunin jangan lupa.” Aku berpesan kepada adikku itu, lalu beranjak keluar mencari makanan.
Keadaan di luar masih sama, hujan semakin deras saja. Sementara jalanan

bukannya tambah sepi tapi makin tambah ramai. Disana-sini klakson berbunyi tanda mereka tidak sabar untuk melintas. Aku melalui trotoar menuju warteg dengan payung kecil yang hanya bisa melindungi kepala dan bahuku saja. Selebihnya aku basah kuyup.
Sesampainya di warteg, aku memesan nasi lengkap dengan lauk ikan asin untuk kedua adikku dan aku. Kuhitung uang di tanganku, syukurlah cukup untuk makan kami malam ini. Bahkan ibu pemilik warteg itu memberi bonus kepadaku berupa sayur dan bungkusan teh panas. Sungguh mulia sekali hati ibu itu, lalu aku berpamitan pulang dengan senyum yang memekar untuk segera menyambut adik-adikku dengan makanan istimewa ini.
Hujan semakin deras, angin yang bertiup menggerak-gerakkan payungku hingga mobat-mabit. Langkahku terhenti saat klakson panjang mobil itu memberondongku dan bungkusan tas kresek hitam di tanganku berhamburan entah kemana. Aku terjatuh namun aku masih bisa menguasai diri. Segera kuraih sisa-sisa yang ada dari tas kresek itu. Mobil itu berhenti dan sebentar pintu mobilnya terbuka. Nampak terlihat sepatu high-heels dari seorang perempuan karir mengenakan payung dan busana anggun keluar dari mobil itu.
Dia bermaksud menolongku, tapi betapa terkejutnya aku saat mengetahui wanita yang telah menghamburkan isi perut adik-adikku mala mini tak lain dan tak bukan adalah ibuku sendiri.
Ya, aku kenal betul wajahnya. Wanita yang telah tega meninggalkan ayahku saat terbaring sakit demi uang dan lelaki yang lebih kaya. Wanita yang telah tega memutuskan masa depan anak-anaknya demi memenuhi hasrat lelaki lain. Ibuku kejam, bahkan ia sudah seperti pelacur. Sementara ia tak peduli lagi denganku, dengan kedua adikku. Hingga kami menggelandang seperti ini, dia tak pernah peduli.
“Nirmala.. Inikah kau nak?” panggilnya seraya ingin memegang tanganku, tapi lekas ku tampik dengan tanganku.
“Selama ini kau kemana saja, nak. Ibu tak henti mencarimu… Bagaimana keadaan adik-adikmu sekarang?” wanita yang merupakan ibuku itu terus memberondongku dengan penuh pertanyaan. Tapi satupun aku tak menggubrisnya.
Aku segera bangkit dan berdiri, kemudian acuh meninggalkan ibuku dengan berlari. Berlari menembus hujan yang deras. Meninggalkan ibuku yang telah melukai masa depanku dan adik-adikku itu.
Aku tiba di rumah singgah, dimana tempat itu menjadi tempat bernaungku dan berlindungku. Adik-adikku segera menyambutku dengan senyum yang mengembang. Segera kukeluarkan bungkusan nasi yang tinggal dua bungkus itu dan agak basah sedikit.
“Kok cuma dua, kak Nala ndak makan?” adikku Dimas menanyakan hal itu kepadaku.
“Tadi, yang satu jatuh di jalan karena kakak kurang hati-hati. Sudah kalian makan duluan ya, ndak usah mikirin kakak.” Jawabku.
“Risa ndak mau makan kalau kak Nala ndak makan juga…” kali ini si kecil Risa ngambek ke arahku.
“Ya sudah, kita makan bareng ya. Jangan banyak ngomong lagi, cepat habiskan makannya.” Saranku kepada dua adikku itu.
Akhirnya aku makan bersama mereka, dengan sedikit perih terbayang kejadian baru saja. Sayang adik-adikku ini masih terlalu kecil, mereka tak tahu perihnya kehidupan yang sebenarnya telah menantang kami.
Keesokan harinya, kulihat kalender menunjukkan tanggal 31 Desember. Pasti nanti malam akan banyak keramaian disana-sini, mengingat sebentar lagi dalam hitungan jam tahun akan segera berganti. Aku tidak punya persiapan apapun untuk menyambut pergantian tahun seperti anak-anak muda yang hidupnya bahagia dan tidak susah sepertiku. Tapi, jika kupikir tidak ada gunanya juga menghabiskan sisa pergantian tahun dengan berhura-hura menghabiskan uang. Yah, bagi mereka yang berpunya mungkin itu wajar karena tidak pernah merasakan kerasnya kehidupan demi mendapatkan kepingan uang dan bertarung dengan keadaan.
Sore menjelang, aku bersyukur bahwa hari ini koran yang kujajakan laku keras tanpa sisa. Selain setoranku banyak, tentunya aku juga dapat bonus serta dapat membawa oleh-oleh pengisi perut untuk kedua malaikatku. Ketika aku memasuki rumah, aku terkejut bukan main. Ibuku datang dengan membawa banyak sekali mainan dan makanan untuk adik-adikku dan juga teman-temanku yang tinggal serumah. Aku tidak percaya kenapa dia bisa senekat ini untuk terus mengusikku dan mengetahui tempat tinggalku.
“Lihat siapa yang datang…” katanya tulus tapi dipikiranku kata itu dilontarkan dengan nada yang entah dibuat seramah mungkin.
“Kak Nala, Ibu datang membawa banyak hadiah…” adik-adikku yang polos nampak riang sekali.
Aku menanggapinya acuh dan berlalu begitu saja, tapi perempuan yang merupakan ibuku itu menarikku untuk berbicara menjauh dari adik-adikku.
“Kenapa kau tidak bisa memaafkan ibu, Nala?”
“Sepertinya ibu sudah tahu jawaban Nala.” jawabku datar tanpa ekspresi.
“Apakah karena ibu meninggalkan kalian? Tapi ibu kembali, ibu ingin hidup bersama kalian.”
“Semudah itukah meninggalkan kami selama enam tahun, semudah itukah kembali tanpa pernah ada sedikitpun perasaan bersalah ibu pada kami. Semudah itukah menggantikan kehadiran bapak dengan lelaki lain yang lebih kaya?” aku tidak bisa menahan amarahku, amarah yang sudah menggunung selama enam tahun itu akhirnya pecah juga. Badanku benar-benar panas, aku sungguh ingin pergi menjauh dari hadapan ibu. Tapi aku tak mampu, karena wanita yang merupakan ibuku tersebut menangis.
“Maafkan ibu Nala, bukan seperti itu yang ibu inginkan. Tapi keadaanlah yang memaksa ibu untuk harus tega meninggalkan kalian, bahkan bapakmu yang meminta ibu pergi…” Air mata itu benar-benar jatuh berderai, sudah lama aku tak melihat ibuku menangis. Sungguh aku rindu kepadanya, tapi apakah aku harus segera memaafkan semua kesalahannya di masa lalu?
“Aku paham, mungkin alasan kemiskinan yang membuat ibu menderita dan meninggalkan kami. Tapi, aku tak habis pikir kenapa ibu tak pernah sedikitpun menengokku dan adik-adik. Apakah karena harta sehingga kami menjadi tidak berharga sama sekali. Apakah karena lelaki itu sudah bosan kepada ibu sehingga ibu kembali mencari kami?” aku kembali menghantamkan kata-kata itu kepada ibu.
“Nala lancang sekali kau…” aku memutus perkataan ibuku yang mulai meninggi dengan tangisnya. Lalu kemudian aku pergi tanpa menoleh sedikitpun.
“Maaf, Nala butuh waktu untuk itu.”
Aku benar-benar limbung, perasaanku dipenuhi amarah dan dendam. Tapi jujur, aku sangat merindukan ibuku. Malam pergantian tahun baru itu telah datang, kudengar bunyi terompet dimanapun aku berada. Banyak kendaraan lalu lalang dihadapanku. Mau tak mau aku menyaksikan juga pergantian tahun baru yang orang katakan spesial itu. Ya, kepergianku dari rumah meninggalkan adik-adikku, menggelandang di jalanan seperti malam ini membuatku menikmati gebyar kembang api dan deru terompet yang tak pernah kuingin tahu. Kebahagiaan disana-sini bertumbuh seperti jamur di musim hujan, dimana ketika jam menunjukkan pukul 00.00 semua orang meneriakkan harapan-harapannya, mimpi-mimpinya. Aku mulai mendengar apa yang mereka teriakkan kemudian mereka tersenyum, ada yang bertepuk tangan, ada yang memeluk kekasihnya bahkan keluarganya.
Tanpa tersadar di pergantian tahun ini, aku meneriakkan sesuatu dalam hatiku. Aku ingin keluargaku kembali, aku ingin merasakan kehadiran ibu seperti saat aku masih kecil. Aku ingin mengakhiri pekerjaanku yang menggelandang seperti ini. Aku ingin adik-adikku mendapat curahan kasih seorang ibu. Aku ingin semua itu kembali, Tuhan.
Air mataku sedikit menetes, tapi segera aku mengusapnya. Aku laki-laki dan tak ingin menangis walaupun sebenarnya ingin sekali kujatuhkan bulir-bulir hangat itu dari sudut mataku. Yah, aku mulai bisa membaca situasi kenapa orang-orang sangat gembira menantikan pergantian tahun. Karena mereka melewatkannya bersama orang-orang yang mereka cintai. Entah keluarga, sahabat, kekasih atau orang-orang yang berjasa dalam hidup mereka. Serta karena mereka berharap bahwa di tahun yang telah berganti mereka dapat mengubah hidupnya, berdoa agar segala mimpi dan kehidupan diberi diwujudkan oleh Tuhan.
Aku mengerti, ternyata tidak semua pergantian tahun baru harus identik dengan menghamburkan uang. Tetapi berkumpul bersama orang-orang terdekat mereka dan mewujudkan impian bersama orang-orang terdekat mereka. Dan, aku menyadari bahwa aku ingin kembali pada ibu dan ingin meminta maaf kepada beliau. Tekadku sudah kuat. Tuhan telah membukakan pintu hatiku yang lama terkunci.
Tanggal 1 Januari menyapaku cerah, dengan sinar mentari yang malu-malu hangat menyentuhku. Aku telah kembali ke rumah singgah dan menjumpai adikku Risa dan Dimas. Keduanya telah rapi dan mengemasi barang-barang bersamaku. Aku melaju dengan membawa kedua adikku menuju alamat yang ditinggalkan ibu pada kartu namanya ketika aku kembali ke rumah singgah dan tak sengaja menemukannya.
Pada sebuah halaman rumah yang megah dan indah kami tiba, aku memasuki gerbang dan memencet bel rumah itu. Derap langkah perempuan terdengar menghampiri pintu, dan setelah pintu itu terbuka…
“Nirmala, Risa, Dimas…” panggil ibu dengan mata yang berkaca-kaca.
Ibu menciumi kedua adikku, ketika itu dengan agak ragu ibu memandangku. Aku tersenyum tulus ke arahnya, dengan sangat pelan kukatakan.
“Ibu, aku ingin hidup bersama ibu juga. Nala rindu ibu, kami rindu ibu. Maafkan Nala bu…”
Tanpa adanya sebuah aba-aba ibuku memelukku dengan sangat terisak. Pelukannya begitu menentramkanku. Apalagi setelah aku mengetahui bahwa ibuku menjadi pengusaha yang sukses. Laki-laki yang bersama ibu itulah yang memodali ibuku hingga menjadi seperti ini. Bahkan, aku telah salah menilai jika ibuku seorang pelacur dan jarang mengunjungi kami. Itu karena dia sempat bermukim di luar negeri. Aku juga telah salah memaki lelaki tersebut, karena tanpa kuketahui lelaki yang kini telah terbiasa kupanggil ayah itu menerima kedatanganku bersama adik-adikku dengan tulus. Aku telah salah menilai semua ini, dan aku akan memulainya dari awal bersama keluargaku yang baru. Tanpa melupakan suka dukaku ketika hidup di jalanan.


Di balik turunnya hujan, 31 Desember 2012


  *) Mahasiswi Sastra Asia Barat 2011 FIB UGM

0 komentar:

Post a Comment