Cerpen: Dian Marfuah*)
Aku tertegun melihat hilir mudik
orang dan lalu lalang kendaraan di jalan. Semrawut dan tidak beraturan sama sekali.
Sementara langit Jogja sedari siang tadi muram dengan mendung putihnya yang
tiada berganti. Ya, Jogja diguyur hujan sejak siang dan sampai sore ini pun
belum reda juga.
sumber : www.santabanta.com |
Aku berteduh disela-sela emperan
toko yang sudah tutup, melindungi diriku dari guyuran air deras serta
melindungi sisa daganganku yang harus habis untuk bekal makanku dan adik-adikku.
Sedari tadi aku menawarkan koran kepada orang-orang yang berhenti di lampu
merah ini, tapi mereka memilih untuk membeli terompet atau mercon dan kembang
api untuk tahun barunan. Aku hanya menelan ludah saat kertas berisi
informasi-informasi ini tak dilirik oleh mereka.
Mereka lebih memilih terompet dan
kembang api itu sebagai bebunyian untuk merayakan pergantian tahun sehari lagi.
Ketimbang melarisi daganganku yang sedari tadi masih menumpuk ditengah guyuran
hujan seperti ini. Sekali lagi aku kalah dengan terompet tahun baru, sekalipun
kukumpulkan seluruh tenagaku untuk menghabiskan sisa koran ini. Ah, tapi
sia-sia belaka. Aku hanya akan semakin tersingkir dan belum lagi untuk setoran
esok pagi aku harus mengeles apalagi kepada pak tua agen koran bosku itu.
Aku memutuskan untuk kembali ke
rumah, meski sebetulnya bangunan itu tidak bisa kusebut rumah. Rumah itu hanya
pemberian seseorang yang sangat berjasa kepadaku, pemilik rumah singgah. Rumah
itu diberikan kepada kami anak-anak jalanan yang berusaha mencari penghasilan
di lampu merah. Di rumah singgah itulah aku tinggal bersama kedua adik
kandungku dan kawan-kawan sesama pengasong dan anak jalanan.
Risa adikku terlihat kuyu karena
sejak tadi pagi kutinggal kerja ia belum makan, sementara si Dimas tertidur
dengan pulasnya sembari mendekap mainan-mainan kertas buatanku. Tampaknya
saking laparnya ia sampai ketiduran.
“Kamu lapar?” tanyaku, kudekati adik
kecilku yang wajahnya kelaparan itu.
Ia hanya mengangguk dan menatapku
dengan pertanda ingin cepat mengisi perutnya yang kosong sedari pagi itu.
“Tunggu sebentar ya, kakak beli
makan. Dimas dibangunin jangan lupa.” Aku berpesan kepada adikku itu, lalu
beranjak keluar mencari makanan.
Keadaan di luar masih sama, hujan
semakin deras saja. Sementara jalanan
bukannya tambah sepi tapi makin tambah
ramai. Disana-sini klakson berbunyi tanda mereka tidak sabar untuk melintas.
Aku melalui trotoar menuju warteg dengan payung kecil yang hanya bisa
melindungi kepala dan bahuku saja. Selebihnya aku basah kuyup.
Sesampainya di warteg, aku memesan
nasi lengkap dengan lauk ikan asin untuk kedua adikku dan aku. Kuhitung uang di
tanganku, syukurlah cukup untuk makan kami malam ini. Bahkan ibu pemilik warteg
itu memberi bonus kepadaku berupa sayur dan bungkusan teh panas. Sungguh mulia
sekali hati ibu itu, lalu aku berpamitan pulang dengan senyum yang memekar
untuk segera menyambut adik-adikku dengan makanan istimewa ini.
Hujan semakin deras, angin yang
bertiup menggerak-gerakkan payungku hingga mobat-mabit. Langkahku terhenti saat
klakson panjang mobil itu memberondongku dan bungkusan tas kresek hitam di
tanganku berhamburan entah kemana. Aku terjatuh namun aku masih bisa menguasai
diri. Segera kuraih sisa-sisa yang ada dari tas kresek itu. Mobil itu berhenti
dan sebentar pintu mobilnya terbuka. Nampak terlihat sepatu high-heels
dari seorang perempuan karir mengenakan payung dan busana anggun keluar dari
mobil itu.
Dia bermaksud menolongku, tapi
betapa terkejutnya aku saat mengetahui wanita yang telah menghamburkan isi
perut adik-adikku mala mini tak lain dan tak bukan adalah ibuku sendiri.
Ya, aku kenal betul wajahnya. Wanita
yang telah tega meninggalkan ayahku saat terbaring sakit demi uang dan lelaki
yang lebih kaya. Wanita yang telah tega memutuskan masa depan anak-anaknya demi
memenuhi hasrat lelaki lain. Ibuku kejam, bahkan ia sudah seperti pelacur.
Sementara ia tak peduli lagi denganku, dengan kedua adikku. Hingga kami
menggelandang seperti ini, dia tak pernah peduli.
“Nirmala.. Inikah kau nak?” panggilnya
seraya ingin memegang tanganku, tapi lekas ku tampik dengan tanganku.
“Selama ini kau kemana saja, nak.
Ibu tak henti mencarimu… Bagaimana keadaan adik-adikmu sekarang?” wanita yang
merupakan ibuku itu terus memberondongku dengan penuh pertanyaan. Tapi satupun
aku tak menggubrisnya.
Aku segera bangkit dan berdiri,
kemudian acuh meninggalkan ibuku dengan berlari. Berlari menembus hujan yang
deras. Meninggalkan ibuku yang telah melukai masa depanku dan adik-adikku itu.
Aku tiba di rumah singgah, dimana
tempat itu menjadi tempat bernaungku dan berlindungku. Adik-adikku segera
menyambutku dengan senyum yang mengembang. Segera kukeluarkan bungkusan nasi
yang tinggal dua bungkus itu dan agak basah sedikit.
“Kok cuma dua, kak Nala ndak
makan?” adikku Dimas menanyakan hal itu kepadaku.
“Tadi, yang satu jatuh di jalan
karena kakak kurang hati-hati. Sudah kalian makan duluan ya, ndak usah
mikirin kakak.” Jawabku.
“Risa ndak mau makan kalau kak Nala
ndak makan juga…” kali ini si kecil Risa ngambek ke arahku.
“Ya sudah, kita makan bareng ya.
Jangan banyak ngomong lagi, cepat habiskan makannya.” Saranku kepada dua adikku
itu.
Akhirnya aku makan bersama mereka,
dengan sedikit perih terbayang kejadian baru saja. Sayang adik-adikku ini masih
terlalu kecil, mereka tak tahu perihnya kehidupan yang sebenarnya telah
menantang kami.
Keesokan harinya, kulihat kalender
menunjukkan tanggal 31 Desember. Pasti nanti malam akan banyak keramaian
disana-sini, mengingat sebentar lagi dalam hitungan jam tahun akan segera
berganti. Aku tidak punya persiapan apapun untuk menyambut pergantian tahun
seperti anak-anak muda yang hidupnya bahagia dan tidak susah sepertiku. Tapi,
jika kupikir tidak ada gunanya juga menghabiskan sisa pergantian tahun dengan
berhura-hura menghabiskan uang. Yah, bagi mereka yang berpunya mungkin itu
wajar karena tidak pernah merasakan kerasnya kehidupan demi mendapatkan
kepingan uang dan bertarung dengan keadaan.
Sore menjelang, aku bersyukur bahwa
hari ini koran yang kujajakan laku keras tanpa sisa. Selain setoranku banyak,
tentunya aku juga dapat bonus serta dapat membawa oleh-oleh pengisi perut untuk
kedua malaikatku. Ketika aku memasuki rumah, aku terkejut bukan main. Ibuku
datang dengan membawa banyak sekali mainan dan makanan untuk adik-adikku dan
juga teman-temanku yang tinggal serumah. Aku tidak percaya kenapa dia bisa
senekat ini untuk terus mengusikku dan mengetahui tempat tinggalku.
“Lihat siapa yang datang…” katanya tulus
tapi dipikiranku kata itu dilontarkan dengan nada yang entah dibuat seramah
mungkin.
“Kak Nala, Ibu datang membawa banyak
hadiah…” adik-adikku yang polos nampak riang sekali.
Aku menanggapinya acuh dan berlalu
begitu saja, tapi perempuan yang merupakan ibuku itu menarikku untuk berbicara
menjauh dari adik-adikku.
“Kenapa kau tidak bisa memaafkan
ibu, Nala?”
“Sepertinya ibu sudah tahu jawaban
Nala.” jawabku datar tanpa ekspresi.
“Apakah karena ibu meninggalkan
kalian? Tapi ibu kembali, ibu ingin hidup bersama kalian.”
“Semudah itukah meninggalkan kami
selama enam tahun, semudah itukah kembali tanpa pernah ada sedikitpun perasaan
bersalah ibu pada kami. Semudah itukah menggantikan kehadiran bapak dengan
lelaki lain yang lebih kaya?” aku tidak bisa menahan amarahku, amarah yang
sudah menggunung selama enam tahun itu akhirnya pecah juga. Badanku benar-benar
panas, aku sungguh ingin pergi menjauh dari hadapan ibu. Tapi aku tak mampu,
karena wanita yang merupakan ibuku tersebut menangis.
“Maafkan ibu Nala, bukan seperti itu
yang ibu inginkan. Tapi keadaanlah yang memaksa ibu untuk harus tega
meninggalkan kalian, bahkan bapakmu yang meminta ibu pergi…” Air mata itu
benar-benar jatuh berderai, sudah lama aku tak melihat ibuku menangis. Sungguh
aku rindu kepadanya, tapi apakah aku harus segera memaafkan semua kesalahannya
di masa lalu?
“Aku paham, mungkin alasan
kemiskinan yang membuat ibu menderita dan meninggalkan kami. Tapi, aku tak
habis pikir kenapa ibu tak pernah sedikitpun menengokku dan adik-adik. Apakah
karena harta sehingga kami menjadi tidak berharga sama sekali. Apakah karena
lelaki itu sudah bosan kepada ibu sehingga ibu kembali mencari kami?” aku
kembali menghantamkan kata-kata itu kepada ibu.
“Nala lancang sekali kau…” aku
memutus perkataan ibuku yang mulai meninggi dengan tangisnya. Lalu kemudian aku
pergi tanpa menoleh sedikitpun.
“Maaf, Nala butuh waktu untuk itu.”
Aku benar-benar limbung, perasaanku
dipenuhi amarah dan dendam. Tapi jujur, aku sangat merindukan ibuku. Malam
pergantian tahun baru itu telah datang, kudengar bunyi terompet dimanapun aku
berada. Banyak kendaraan lalu lalang dihadapanku. Mau tak mau aku menyaksikan
juga pergantian tahun baru yang orang katakan spesial itu. Ya, kepergianku dari
rumah meninggalkan adik-adikku, menggelandang di jalanan seperti malam ini
membuatku menikmati gebyar kembang api dan deru terompet yang tak pernah
kuingin tahu. Kebahagiaan disana-sini bertumbuh seperti jamur di musim hujan,
dimana ketika jam menunjukkan pukul 00.00 semua orang meneriakkan
harapan-harapannya, mimpi-mimpinya. Aku mulai mendengar apa yang mereka
teriakkan kemudian mereka tersenyum, ada yang bertepuk tangan, ada yang memeluk
kekasihnya bahkan keluarganya.
Tanpa tersadar di pergantian tahun
ini, aku meneriakkan sesuatu dalam hatiku. Aku ingin keluargaku kembali, aku
ingin merasakan kehadiran ibu seperti saat aku masih kecil. Aku ingin
mengakhiri pekerjaanku yang menggelandang seperti ini. Aku ingin adik-adikku
mendapat curahan kasih seorang ibu. Aku ingin semua itu kembali, Tuhan.
Air mataku sedikit menetes, tapi
segera aku mengusapnya. Aku laki-laki dan tak ingin menangis walaupun
sebenarnya ingin sekali kujatuhkan bulir-bulir hangat itu dari sudut mataku. Yah,
aku mulai bisa membaca situasi kenapa orang-orang sangat gembira menantikan
pergantian tahun. Karena mereka melewatkannya bersama orang-orang yang mereka
cintai. Entah keluarga, sahabat, kekasih atau orang-orang yang berjasa dalam
hidup mereka. Serta karena mereka berharap bahwa di tahun yang telah berganti
mereka dapat mengubah hidupnya, berdoa agar segala mimpi dan kehidupan diberi
diwujudkan oleh Tuhan.
Aku mengerti, ternyata tidak semua
pergantian tahun baru harus identik dengan menghamburkan uang. Tetapi berkumpul
bersama orang-orang terdekat mereka dan mewujudkan impian bersama orang-orang
terdekat mereka. Dan, aku menyadari bahwa aku ingin kembali pada ibu dan ingin
meminta maaf kepada beliau. Tekadku sudah kuat. Tuhan telah membukakan pintu
hatiku yang lama terkunci.
Tanggal 1 Januari menyapaku cerah,
dengan sinar mentari yang malu-malu hangat menyentuhku. Aku telah kembali ke
rumah singgah dan menjumpai adikku Risa dan Dimas. Keduanya telah rapi dan
mengemasi barang-barang bersamaku. Aku melaju dengan membawa kedua adikku
menuju alamat yang ditinggalkan ibu pada kartu namanya ketika aku kembali ke
rumah singgah dan tak sengaja menemukannya.
Pada sebuah halaman rumah yang megah
dan indah kami tiba, aku memasuki gerbang dan memencet bel rumah itu. Derap
langkah perempuan terdengar menghampiri pintu, dan setelah pintu itu terbuka…
“Nirmala, Risa, Dimas…” panggil ibu
dengan mata yang berkaca-kaca.
Ibu menciumi kedua adikku, ketika
itu dengan agak ragu ibu memandangku. Aku tersenyum tulus ke arahnya, dengan
sangat pelan kukatakan.
“Ibu, aku ingin hidup bersama ibu juga.
Nala rindu ibu, kami rindu ibu. Maafkan Nala bu…”
Tanpa adanya sebuah
aba-aba ibuku memelukku dengan sangat terisak. Pelukannya begitu
menentramkanku. Apalagi setelah aku mengetahui bahwa ibuku menjadi pengusaha
yang sukses. Laki-laki yang bersama ibu itulah yang memodali ibuku hingga
menjadi seperti ini. Bahkan, aku telah salah menilai jika ibuku seorang pelacur
dan jarang mengunjungi kami. Itu karena dia sempat bermukim di luar negeri. Aku
juga telah salah memaki lelaki tersebut, karena tanpa kuketahui lelaki yang
kini telah terbiasa kupanggil ayah itu menerima kedatanganku bersama
adik-adikku dengan tulus. Aku telah salah menilai semua ini, dan aku akan
memulainya dari awal bersama keluargaku yang baru. Tanpa melupakan suka dukaku
ketika hidup di jalanan.
Di balik
turunnya hujan, 31 Desember 2012
0 komentar:
Post a Comment