Terompet Tahun Baru

Aku tertegun melihat hilir mudik orang dan lalu lalang kendaraan di jalan. Semrawut dan tidak beraturan sama sekali. Sementara langit Jogja sedari siang tadi muram dengan mendung putihnya yang tiada berganti.

Prokrastinasi; Perilaku Prokrastinator Diambang Deadline

Seringkali dalam dunia mahasiswa, kita menunda-nunda pekerjaan, berleha-leha , bersantai-santai sampai akhirnya terasa waktu mulai menyayat perlahan hingga menjerat kita dalam kondisi yang benar-benar “di garis batas kematian” (deadline).

Sepakbola : Antara Olah Raga, Agama, Industri, dan Pertarungan Ideologi Politik

Sepakbola adalah olahraga paling masyhur dan populer sejagad. Olah raga ini mempunyai penggemar paling banyak dibandingkan dengan olah raga lain. Para penggemarnya terdiri dari berbagai kalangan dan kelas sosial, dari anak-anak hingga orang dewasa, dari kelas buruh hingga bangsawan, dari rakyat jelata hingga presiden.

Gerakan Fundamentalisme Agama: Akar Konflik Dunia yang Berkepanjangan

Salah satu fenomena paling mengejutkan di akhir abad ke-20 adalah munculnya apa yang disebutkan dengan “fundamentalisme” dalam tradisi keagamaan dunia. Fundamentalisme menjadi wacana yang belakangan memperoleh perhatian luas. Segala bentuk kekerasan atas nama agama atau kelompok akan selalu dikaitkan dengan gerakan fundamentalisme.

Latihan kader 1

Bergambar bersama setelah acara Latihan Kader 1 Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Ilmu Budaya UGM

Thursday, February 23, 2017

DRAF MEMORI PENJELASAN BERDIRINYA HMI CABANG BULAKSUMUR SLEMAN*




Latar Belakang Pemikiran

Coba temukan sumber yang asasi, jangan hanya memetik rerantingan dan memunguti dedaunan,” nasehat Daito Kukhosai bagi penempuh jalan samurai.

Friday, January 13, 2017

Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat*

Oleh Drs H Nurcholish Madjid

Pendahuluan

DORONGAN untuk membahas masalah tersebut dalam judul ialah konstatasi bahwa kaum muslim Indonesia sekarang ini mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan psychological striking force  dalam perjuangannya. Sebuah dilema segera dihadapkan kepada umat Islam: apakah akan memilih menempuh jalan pembaruan dalam dirinya dengan merugikan integrasi yang selama ini didambakan, ataukah akan mempertahankan dilakukannya usaha-usaha ke arah integrasi itu sekalipun dengan akibat keharusan ditolerirnya kebekuan pemikiran dan hilangnya kekuatan-kekuatan moril yang ampuh?

Wednesday, January 11, 2017

HMI dan Keindonesiaan Masa Depan*

Oleh: Nurcholis Madjid
Barangkali tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa HMI adalah sebuah format kecil keindonesiaan. Yakni keindonesiaan masa depan. HMI adalah sebuah Indonesia dalam miniatur. Pernyataan itu mungkin terdengar sebagai klaim yang kelewat besar, namun ada beberapa kenyataan yang dapat diajukan sebagai argumen untuk mendukung klaim itu. Tetapi di sini, disebabkan terbatasnya ruangan, kita akan mengajukan soal bahasa sebagai pendukung utama argumen ini. Pertama ialah kenyataan bahwa keindonesiaan itu sendiri sampai sekarang sebenarnya belum ada. Jiwa yang dimaksudkan dengan keindonesiaan tidak sekedar pengejawantahan politik atau teritorial semata – meskipun hal-hal itu amat penting dan mutlak- melainkan sesuatu yang lebih banyak berkaitan dengan sistem nilai,yaitu suatu pola budaya yang secara nyata membentuk nilai keindonesiaan. Ini pun tidak boleh dikacaukan dengan hal-hal formal dan konstitusional, seperti Pancasila, sebab hal-hal formal itu, lepas dari klaim-klaim yang ada, lebih banyak menunjukkan kepada cita-cita yang hendak dicapai daripada menggambarkan kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
Pembentukan keindonesiaan itu masih dalam proses. Terdapat beberapa ‘calon’ dari berbagai budaya lokal dan sektoral yang bakal memberi bentuk nyata kepada keindonesiaan itu. Dari yang lokal, salah satu yang sering disebut-sebut ialah budaya Jawa. Burhan Magenda, dalam wawancaranya denga Harian Kompas (14 Maret 1985) mengatakan bahwa kultur Jawa bisa jadi basis penguatan paham kebangsaan Indonesia. Alasan yang diajukan Burhan ialah bahwa untuk kuatnya kebangsaan, perlu adanya “landasan domestik yang kokoh untuk mengakomodir berbagai ideologi atau pengaruh luar yang bersifat universal”. Menurutnya, “berbeda dengan ideologi lain atau atau agama tertentu”, kultur Jawa secara empiris menunjukkan daya adaptasi dengan subkultur lainnya secara harmonis, dan kultur Jawa itu yang sekarang dominan, baik dalam sistem politik, ekonomi, maupun budaya, khususnya di kalangan elit Indonesia.
Sebenarnya pernyataan Burhan bukanlah hal baru. Sudah sejak beberapa tahun yang lalu, sastrawan Ashadi Siregar juga berpegang pada pendapat yang sama. Sastrawan ini sangat mengagumi wayang kulit – suatu ekspresi kultur Jawa – dan melihat di dalamnya berbagai nilai yang bisa dikembangkan mnjadi keindonesiaan. (patut dicatat bahwa baik Burhan maupun Ashadi sendiri tidak berasal dari Jawa).
"Dominasi” Jawa Sementara
Mungkin saja Burhan dan Ashadi benar. Tapi, ada beberapa hal yang harus diajukan sebagai bahan pertimbangan. Pertama ialah ‘dominasi’ kultur Jawa pada kalangan elit Indonesia itu bisa hanya bersifat sementara. Jika sampai saat ini kebanyakan anggota elit Indonesia itu berasal dari Jawa, khususnya Jawa Tengah, dan lebih khusus lagi segitiga Semarang-Yogya-Solo, maka hal itu antara lain disebabkan oleh adanya sisa-sisa sistem pendidikan kolonial yang sangat menguntungkan golongan priyai, tradisi memerintah pada kaum aristokrat Jawa itu, dan perjuangan fisik mempertahankan Republik yang mengambil daerah segitiga itu sebagai panggung utamanya. Dua yang pertama menerangkan mengapa birokrasi banyak dikuasai mereka, dan yang ketiga menerangkan asal-usul kebanyakan perwira tinggi kita sampai saat ini.
Dengan kata lain, ‘dominasi’ para pendukung kultur Jawa seperti yang diisyaratkan oleh Burhan itu, adalah disebabkan oleh menumpuknya informasi, keahlian, pengalaman dan partisipasi historis pada mereka dan bukan karena kekuatan kultur Jawa itu sendiri. Sementara pola-pola dominasi itu sendiri tidak bisa bersifat permanen – sebab, salah satu akibat kemerdekaan adalah terbaginya informasi, keahlian, pengalaman dan partisipasi itu kepada seluruh warga negara, khususnya melalui pendidikan yang terbuka – banyak hal-hal yang menjadi kelemahan kultur Jawa dan akan menghalanginya untuk menjadi bahan utama keindonesiaan. Salah satu kelemahan itu adalah tidak terpilihnya bahasa Jawa – meskipun secara kandungan kultural kaya – sebagai bahasa nasional. Pilihan itu justru jatuh, melalu proses yang amat wajar dan alami, pada bahasa melayu. Ini adalah karena kesadaran kebangsaan pada waktu itu yang melihat bahwa bahasa Jawa tidak akan mampu mendukung cita-cita keindonesiaan, suatu cita-cita yang harus diwujudkan di zaman modern. Ambillah sebagai contoh watak bahasa Jawa yang hierarkis, seperti halnya bahasa Sunda, Madura dan Bali, yang mencerminkan hakikat kultur-kultur itu. Selalu, tutuntan kulutural untuk bisa sejalan dengan kemodernan ialah egalitarianisme. Maka dibanding dengan bahasa Jawa, bahasa Indonesia (melayu) adalah lebih egaliter, karena itu lebih modern.
Disebabkan oleh watak yang lebih egaliter bahasa Melayu, maka ia mampu mengekspresikan nilai-nilai keislaman yang juga sangat egaliter. Islam menggarisbawahi egalitarinisme bahasa Melayu itu dan mengembangkannya. Bahasa melayu yang sudah “diislamkan” adalah lebih egaliter dari pada yang semula. Jadi dari sudut bahwa bahasa Melayu telah ‘menang’ terhadap bahasa Jawa, maka dapat dikatakan bahwa yang secara ‘dominan’ mengisi keindonesiaan adalah konsep egalitarianisme, bukan hirarkisme sosial, dan itu sejalan dengan keislaman. Maka kelanjutan logis dari argumen itu ialah bahwa keislaman, dan bukan kejawaan, yang kini sedang menumbuhkan diri sebagai pengisi pokok keindonesiaan.
Sebagai dukungan argumen itu lebih lanjut, kejawaan yang disebut Burhan ‘dominan’ ialah yang telah mengalami pengingonesiaan yang cukup jauh. Apalagi yang kita maksudkan kejawaan itu adalah yang ada di ibukota. Orang-orang “Jawa” (dalam arti kultural, bukan semata-mata etnis) di Jakarta adalah jauh lebih egaliter daripada mereka yang ada di komplek Semarang-Yogya-Solo. Jika penggunaan bahasa itu sendiri merupakan indikasi, rumah tangga keluarga Jawa di Jakarta, khususnya generasi muda anggota keluarga itu, sudah tidak lagi mengerti, apalagi mempelajar bahasa Jawa. Malahan, di komplek Semarang-Yogya-Solo pun bahasa Jawa itu sudah terasa mulai terdesak oleh bahasa Indonesia. Ini bisa dilihat dari bahasa yang digunakan oleh para anggota genarasi muda, khususnya kalangan terpelajar, bahkan di rumah tangga mereka. Juga dibuktikan denga kegagalan setiap usaha mengeluarkan penerbitan berkala bahasa Jawa, biarpun di Jawa Tengah sendiri.
Bukan Islam Ritual
Jika benar jalan pikiran itu, maka masa depan Indonesia ini, dalam muatan kulturalnya akan banyak ditentukan oleh pengembangan budaya keislaman. Namun masih tersisa sebuah pertanyaan “Islam yang mana?”, dalam keadaan tidak mungkin mengingkari aneka ragamnya kelompok keislaman di Indonesia, maka pertanyaan itu tidaklah mengada-ada. Jawaban atas pertanyaan itu adalah “Islam yang dipahami dengan titik berat kepada persoalan pandangan hidup dan pandangan dunia (liebenanschauung dan weltanschauung), yang lebih menyeluruh.” Ini mengisyaratkan, “tidak mungkin dengan Islam yang dipahami dengan titik berat soal ritual”, meskipun tidak berarti mengecilkan arti penting ritual dan ubudiyah. Pemahaman yang lebih menekankan pada aspek-aspek total itu, menghendaki ketenggangan yang besar berkenaan dengan aspek-aspek ritual. Segi-segi ritual itu tidak menjadi titik pusat rasa pengenalan diri sebagai kelompok, meskipun masing-masing anggota kelompok dibenarkan untuk memilik bentuk variasi ritual tertentu. (Contoh pemaham serupa itu ialah yang dilakukan H.A. Salim, yang kemudian diteruskan kepada para anggota J.I.B. Salim diketahui sangat tidak suka kepada pembahasan masalah ubudiyah, apalagi melibatkan diri dalam pertikaian khilafiyah).
Maka kita dapat dengan mantap sampai kepada ‘klaim’ kita di atas, yaitu bahwa HMI mencerminkan keindonesiaan masa depan, dan karenanya ia merupakan ‘miniatur Indonesia’. Sebab, dari sekian banyak organisasi di Indonesia, HMI adalah yang Islam dan sekaligus lebih menekankan identitas keislamannya dalam hal-hal yang lebih menyeluruh, yaitu iebenanschauung dan weltanschauung. Dan dari sekian banyak organisasi Islam, HMI adalah yang paling terlatih untuk menghadapi keanekaragaman pendapat dan pandangan dalam dirinya, dan yang paling dewasa pula untuk mencari cara pemecahan persoalan yang dihadapi. Jika demokrasi mensyaratkan adanya pluralisme yang sehat, maka HMI adalah tempat persemaian yang subur bagi usaha-usaha menumbuhkan pluralisme yang sehat itu. Hasil persemaian (baca: perkaderan) itu tidak saja dapat ditanam dengan subur di ladang kalangan Islam sendiri, tetapi juga sudah menunjukkan kemampuannya untuk tumbuh subur di ladang Indonesia secara keseluruhan. Hal yang terakhir ini semakin dikuatkan oleh kenyatan bahwa di antara berbagai organisasi sosial yang ada, khususnya kemahasiswaan, HMI adalah paling bersifat nasional, dalam arti kekuatan organisasinya relatif paling merata di seluruh tanah air. Juga dalam arti bahwa HMI adalah organisasi yang benar-benar bebas dari komplek-komplek pengelompokan etnis atau kedaerahan, yang biasanya hal-hal serupa itu terdapat dan muncul sebagai ancaman berbagai organisasi yang lain.
Sejalan dengan argumen itu pula, jika Indonesia harus menemukan landasan kokoh bagi banguan etika politik, sosial, dan ekonominya, maka diantara semua kekuatan kultural yang ada di Indonesia, yang paling mampu menawarkan etika itu secara nasional ialah Islam dalam pengertian di atas. Ini adalah suatu pernyataan yang tidak perlu dikaitkan dengan jargon lama politik Islam Indonesia. Ini adalah pengemukaan hal yang secara sosiologis sedang terjadi dan tumbuh, minimal semata-mata dikarenakan bahwa Islam suatu sistem paham yang paling merata di Indonesia. dan Islam yang mengindonesia itu ialah Islam yang kosmopolit, egaliter, terbuka, dan berwatak aktif, yaitu yang terdapat pada umumnya di daerah pantai pulau Jawa dan hampir semua daerah di luar Jawa. Tanpa mengingkari peranan sistem paham (dan agama) yang lain yang tentunya secara tak terhindari juga ikut mengisi keindonesiaan melalui suatu proses interaksi kultural yang alamiah, disebakan oleh dinamika ajarannya sendiri dan keudukan sosiologisnya di Indonesia, Islam tetap memegang peranan dominan.
Jika apa yang sudah terjadi selama sejarah pertumbuhannya dapat dijadikan petunjuk, maka HMI adalah bentuk embryonik keislaman – sekaligus keindonesiaan – masa depan. Wallahu a’lam


*Tulisan ini disalin dari Majalah Panji Masyarakat No 499 tahun 1986.

Tuesday, December 20, 2016

Napak Tilas Sejarah Kelahiran HMI



Jas Merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Ungkapan fenomenal dari presiden RI pertama Soekarno ini selalu terngiang-ngiang di benak para alumni HMI. Pada hari Minggu, tepatnya pada 11 Desember 2016, KAHMI Forever Jalan Sehat (KFJS) chapter Yogyakarta beserta kader-kader HMI cabang Yogyakarta dan HMI Cabang Bulaksumur Sleman seperti biasa mengadakan jalan sehat rutin setiap bulan. Namun, jalan sehat pada kesempatan kali ini terasa lebih spesial dibandingkan sebelumnya, karena acara jalan sehat pada kesempatan ini bertajuk napak tilas atau niti laku perjalanan sejarah kelahiran HMI, yaitu dengan melewati rute jalan yang terdapat tempat-tempat yang memiliki arti dan nilai sejarah bagi HMI pada masa-masa awal kelahirannya. Adapun rute yang dilewati adalah jalan secodiningratan (sekarang bernama jalan Panembahan Senopati) tempat bekas gedung Sekolah Tinggi Islam (STI) berada, di mana Lafran Pane dkk memprakarsai berdirinya HMI pada 5 Februari 1947. Di tempat yang sama, kira-kira berjarak hanya beberapa meter di sebelah Barat bekas gedung STI, terdapat gedung yang dulu menjadi asrama mahasiswa STI dan juga menjadi kantor sekretariat pertama HMI setelah kelahirannya. Kini bekas gedung STI tersebut telah menjadi bangunan sekolah yang dikelola oleh yayasan Marsudirini.
Peserta KFJS berpose di depan SD Marsudirini (Bekas gedung STI) di jalan Panembahan Senopati (dulu bernama jalan Secodiningratan) Yogyakarta 

Bekas gedung asrama mahasiswa STI dan kantor sekretariat pertama HMI
Gedung STI yang kini telah menjadi bangunan sekolah yang dikelola Yayasan Marsudirini

Perjalanan lalu dilanjutkan menuju jalan Ahmad Dahlan, tempat kantor PB HMI pertama berada sebelum pindah ke Jakarta pada bulan Juli 1951. Kantor PB HMI pertama tersebut barada di Gedung Muhammadiyah Yogyakarta. Konon, kantor PB HMI pertama masih menumpang tempat di gedung Muhammadiyah Yogyakarta. Perjalanan selanjutnya yaitu rute terakhir menuju tempat yang tak kalah fenomenal dan bersejarah, khususnya bagi para alumni HMI Yogyakarta, yaitu jalan Dagen 16. Di jalan yang besebelahan dengan jalan Malioboro ini dulu pernah berdiri kantor sekretariat HMI Cabang Yogyakarta sebelum berubah menjadi bangunan Whiz Hotel pada medio tahun 2000-an.
Berpose di depan jl. Dagen 16 yang kini telah berubah menjadi bangunan Whiz Hotel
Gedung Muhammadiyah di Jalan Ahmad Dahlan, tempat kantor pertama PB HMI sebelum pindah ke Jakarta pada 1951

Setelah melalui rute-rute yang telah direncanakan, para peserta jalan sehat mengakhiri acara tersebut dengan berkumpul kembali di Kantor Pelayanan Pajak di jalan Panembahan Senopati (secodiningratan) yang dilanjutkan dengan acara silaturrahmi antara alumni tua dan muda, serta penggalangan dana untuk korban bencana gempa bumi di Pidie Aceh.

Sunday, December 18, 2016

Maulid: Bid'ah*

Oleh: Nurcholis Madjid


Maulid, sebagai hari kelahiran Nabi Muhammad saw. merupakan suatu hari besar yang dirayakan di mana-mana oleh seluruh dunia Islam, kecuali di Saudi Arabia. Di Saudi Arabia, perayaan maulid dianggap sebagai bidah yang haram hukumnya. Sebenarnya, di Indonesia ada juga kelompok yang menganggap maulid sebagai bid`ah, dan karena itu haram. Dikatakan bidah karena memang maulid tidak terda­pat pada zaman Rasulullah maupun pada zaman sahabat. Bahkan maulid juga tidak terdapat pada zaman tabi`in, pada zaman kekhalifahan Bani Umayah sampai khalifah Umar ibn Abd al-Aziz, pada zaman imam mazdhab (Malik ibn Anas, Ahmad ibn Hanbal, Abu Hanifah dan Idris al-Syafi`i), dan pada zaman para pengumpul hadis (Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Ibn Majah, dan Abu Dawud). Pertan­yaannya kemudian, sejak kapan maulid ini ada?

Menurut catatan sejarah Islam, pernah terjadi perang antara umat Islam dengan umat Kristen Eropa yang dikenal dengan perang Salib. Perang ini berjalan cukup lama dan tidak satu pun kelompok yang memperoleh kemenan­gan atau menderita kekalahan secara permanen. Begitu lamanya perang Salib ini, sehingga kemenangan dan kekala­han silih berganti dialami masing-masing kelompok.

Lahirnya perang yang berkepanjangan ini, disinyalir sebagai akibat dari tindakan-tindakan Bani Saljuk (ketur­unan Turki dari Asia Tengah dengan ras Mongolaid) yang boleh disebut provokatif. Pada mulanya, Bani Saljuk menyerbu daerah-daerah Islam hanya dengan niat untuk menjarah, merampas kekayaan, dan melampiaskan nafsu berkuasa. Proto­tipe ini dapat dilihat dari tindakan-tindakan Jengis Khan dan Timur Lenk yang kegemarannya adalah menumpuk tengkorak manusia sampai menjadi piramid.

Orang-orang Mongol yang datang dengan kebengisan dan mengobarkan peperangan yang luar biasa akibat pengua­saan teknik penggunaan kuda, dilihat dari segi fisik memang cakap, tetapi secara ideologis mereka lemah, se­hingga secara ajaib malah masuk Islam. Karena itu, menurut istilah sosiologi agama, mereka menderita convert complex (tingkah laku keagamaan ekstrem yang biasanya dialami oleh pemeluk baru agama [dalam Islam, mu'allaf]). Keekstreman orang-orang Mongol tampak ketika Bani Saljuk berhasil merebut Yerusalem dan melarang orang Kristen memasukinya. Tindakan ini berlawanan dengan kebiasaan ketika Yerusalem berada di tangan orang-orang Islam Arab yang membebaskan orang-orang Kristen masuk al-Quds atau al-Bait al-Maqdis di Yerusalem. Pelarangan orang Kristen masuk Yerusalem inilah yang dapat menimbulkan provokasi.

Menanggapi pelarangan tersebut, Paus yang ada di Roma mengumumkan kepada seluruh pengikut Kristen bahwa barang siapa bersukarela untuk pergi ke Yerusalem dia dijamin masuk surga. Dengan iming-iming jaminan masuk surga, orang Kristen Eropa berbondong-bondong menyerbu daerah Islam, terutama Syria, di mana Yerusalem berada. Orang-orang Salib yang datang adalah orang-orang biasa, sehingga yang dijadikan sasaran bukan semata orang Islam. Ketika melewati daerah Konstantinopel yang masih Kristen pun mereka jadikan sasaran. Dari sinilah Perang Saling yang berkepanjangan dan sangat melelahkan itu dimulai.
Bagi tentara Salib, bukan semata maklumat Paus dengan iming-iming masuk surga yang mendasari semangat juang menduduki daerah Islam. Ada sesuatu lain yang menja­di sumber kekuatan mereka, peringatan Natal. Peringatan Natal (kelahiran Isa al-Masih [mîlâd al-Masîh]) selalu diperingati tentara Salib sebagai suatu momen untuk membangkitkan semangat juang mereka, untuk mengingatkan bahwa mereka berada dalam perjuangan suci dalam menegakkan kebenaran.

Adalah Shalahuddin al-Ayyubi, seorang sultan dari Mesir yang sangat bijaksana dan cerdas, menjadi salah seorang panglima pasukan Islam dalam Perang Salib yang membawa kemenangan. Baginya, perang bukanlah sekedar mengandalkan kekuatan pasukan dan strategi. Lebih penting dari itu, semangat juang harus selalu dipertahankan dan bahkan kalau mungkin ditingkatkan. Karenanya, al-Ayyubi tidak segan-segan untuk mengambil pelajaran dari peringa­tan Natal tentara Salib dengan mengadakan peringatan hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad saw. Atas idenya tersebut kemudian maulid diperingati sampai sekarang.

Latar belakang kelahirannya yang ditujukan untuk membangkitkan semangat juang pasukan Islam, maka yang dibaca di dalamnya adalah al-maghâzî, yaitu cerita-cerita perang Nabi saw. Di dalamnya berisi tentang bagaimana Nabi mengorganisir tentaranya dalam perang Badar, bagaimana perang Uhud, bagaimana perang Khandak, bagaimana Makkah itu sendiri ditaklukkan pada yaum al-fath, dan cerita-cerita heroik mengenai para sahabatnya. Pembacaan al-maghâzî seolah-olah dimaksudkan untuk mengingatkan pasukan Islam waktu itu, bahwa Nabi saw. adalah seorang jendral dan ahli perang (stragtech), dan para sahabat adalah tentara-tentara yang tidak pernah mengenal kalah.

Dengan peringatan maulid, semangat juang pasukan Islam termotivasi untuk bangkit. Mereka memerangi tentara Salib dengan semangat yang tinggi, dan berhasil mengusirn­ya dari dunia Islam untuk selamanya. Inilah permulaan dari akhir perang Salib.

Sebagian besar ulama mengetahui sejarah lahirnya maulid seperti di atas, yang itu berarti bidah. Bagi sebagian mereka, meskipun bidah, tetapi bid'ah yang baik. Dalam istilah fiqihnya, bidah hasanah, yaitu suatu kreativitas yang baik. Karena merupakan kreativitas, maka orang berbe­da pendapat menilainya. Ada yang menerima, dan ada yang menolak. Bahkan di Saudi Arabia pun yang menganut secara resmi paham kebid`ahan maulid, masih banyak orang yang mencuri-curi untuk mengadakan maulid. Salah satunya adalah Zaki Yamani, menteri perminyakan yang kemudian dipecat Raja Fahd.


*Tulisan ini diambil dari kumpulan tulisan Prof. Dr. Nurcholis Madjid (Cak Nur)

Thursday, December 8, 2016

Berdialog dengan Al-Qur'an

Oleh: Dzikri Maulana*

Al-Quran adalah kitab suci umat islam, mukjizat Nabi Muhammad Saw, dan merupakan Firman Allah Swt. Al-Quran adalah pedoman sekaligus tuntunan bagi umat islam dalam menjalani hidup, di dalamnya terdapat banyak sekali kandungan tentang ketuhanan, akhlak, sejarah, hukum, akhirat, perintah dan larangan, semesta alam, makanan dan lain sebagainya, singkatnya segala sendi kehidupan terdapat dalam Al-Quran.
Melihat fenomena di masyarakat masih banyak sekali yang memandang Al-Quran hanya sebatas untuk di baca saja, bahkan ada yang begitu mensyakralkannya sehingga menjadikan Al-Quran sebagai ajimat yang diletakan di atas sela-sela pintu rumah. Namun tahukah kita bahwa Al-Quran bukan hanya sebuah bacaan saja, tetapi Al-Quran juga mengajak kita berdialog?, seperti terdapat dalam penggalan beberapa ayat Allah yang berbunyi "apakah kaian tidak melihat", "apakah kalian tidak mendengar?", "maka nikmat Tuhankamu yang manakah yang kamu dustakan?" itu adalah beberapa tamsil kutipan ayat yang mengajak kita berdialog. Dialog yang dimaksudkan adalah dialog dalam renungan kita masing-masing (alam fikir).
Tidak hanya tentang nikmat dan karunia saja, melainkan kita diajak untuk ‘berdialog' lebih jauh lagi mengenai semesta alam, segala ciptaannya, tentang kebesaran Allah dan bukti tentang kebesaran-Nya. Selain itu Al-Quran juga merupakan ‘alat konfirmasi' , di dalamnya terdapat juga ayat-ayat untuk melegitimasi tiap-tiap dari hasil dialog dan perenungan kita terhadap ayat-ayat Allah. Dialog ini bukan dialog satu arah, melainkan dua arah sehingga bersifat komunikatif. Sebagai contoh, ketika Allah dalam firmannya menyatakan bahwa "nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan" (QS. Ar-Rahman: 13) maka Al-Quran sedang mengajak kita untuk menggunakan akal kita dan memikirkan nikmat apa saja yang telah Allah berikan dan yang telah kita nikmati.
Kemudian dalam surat yang lain Al-Quran mengkonfirmasi dan melegitimasi hasil perenungan kita diatas bahwa "Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu ; dan Dia telah menundukan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai" (QS. Ibrahim: 32).
Firman Allah merupakan perumpamaan tentang realitas yang lebih tinggi dan tak terlukiskan, bahkan sejatinya bahasa manusia tertatih-tatih dan kepayahan untuk menyampaikan pesan Ilahi. Sehingga bahasa Al-Quran didesign seirama dengan intepretasi manusia, agar manusia dapat memahami kebesaran Allah (Karen Armstrong). Di dunia ini terdapat sangat banyak ragam bahasa dengan stratifikasi yang berbeda-beda. Kategori bahasa yang memiliki strata bahasa tinggi adalah bahasa yang mampu mengintepretasikan hal yang bersifat ‘imajinatif' ke dalam kata-kata atau kalimat dan bisa merepresentasikan bahasa-bahasa yang lain. Singkatnya bahasa yang mampu membahasakan apa yang sulit dibahasakan.
Dari sekian banyak bahasa yang ada di dunia Allah memiih satu bahsa saja sebagai instrument untuk menyampaikan Firmannya (Al-Quran) agar manusia dapat memahami Firman-Nya yaitu bahasa arab. Allah berfirman dalam surah Yusuf ayat 2 "Sesungguhnya Kami menurunkan berupa Al-Quran dengan berbahasa arab, agar kamu memahaminya". Selain memiliki strata bahasa yang sudah dijelasan diatas, secara lingustik bahasa arab juga termasuk bahasa yang mudah dipelajari. Sehingga memungkinkan orang non-arab dengan mudah mempelajarinya.

ketika kita membaca Ayat-ayat Allah dan meresapi makna yang terkandung di dalamnya, maka ayat-ayat itu akan mengajak kita untuk merenungkan dan memikirkan semua isi kandungannya dengan akal dan hati kita, setelah itu Al-Quran akan mengajak kita untuk mencari ayat-ayat yang melegitimasi ayat-ayat sebelumnya juga terhadap hasil renungan kita.
Al-Quran bukan hanya sekedar bacaan untuk mencari informasi, tetapi juga dimaksudkan untuk memetik rasa tentang yang Ilahi (baca: nilai-nilai Ilahi), sehingga dianjurkan untuk tidak tergesa-gesa membacanya agar bisa menikmati dan meresapi kata demi kata yang terdapat pada ayat-ayat Allah serta mengambil ‘mutiara' yang terkandung di dalamnya.
Dalam memahami Al-Quran kita tentu harus mengrtahui seluk beluknya, seperti asbabunuzul atau sebab turunnya ayat, hadist-hadist yang bersangkutan, juga tafsif-tafsirnya agar pemahaman kita semakin komperhensif. Di Indonesia sendiri sudah banyak Al-Quran terjemah, tafsir Al-Quran yang juga terdapat terjemahan bahasa Indonesia, indeks Al-Quran, dll. Sehingga ini sangat memudahkan kita untuk memahami Al-Quran. Kita juga bisa memanfaatkan tekhnologi (dalam hal ini internet) untuk memudahkan melakukan pencarian terhadap ayat-ayat Al-Quran yang akan kita kaji. Sehingga tidak ada alasan untuk ‘menelantarkan' Al-Quran. Untuk itu mari kita perbaiki bacaan Al-Quran kita, dan mencoba berdialog dengan kalam ilahi, agar Al-Quran benar-benar kita jadikan sebagai pedoman hidup, bukan lagi sebagai slogan semata.

*Penulis adalah Sekretaris Umum HMI Ilmu Budaya UGM 2010-2011

Thursday, November 24, 2016

Tiga Pendekar dari Chicago

Oleh: Abdurrahman Wahid
Generasi pertama cendekiawan muslim dari Universitas Chicago ada tiga orang, yaitu Nurcholish Madjid, Amien Rais, dan Ahmad Syafi’i Ma’arif. Hingga kini, merekalah yang dianggap mewakili angkatan pertama itu, karena belum muncul generasi keduanya.
Ketiga “pendekar” di atas ternyata tidak menampilkan citra yang sama dan padu seperti para alumni Universitas McGill di Montreal, Kanada. “Mafia McGill” hampir semuanya menjadi “agen pencerahan” yang bersikap serba-terbuka kepada “hal-hal baru”, termasuk gagasan kerukunan antarumat beragama. Mafia itulah yang kemudian menguasai Departemen Agama sejak Profesor A. Mukti Ali menjabat menteri agama, pada tahun 1970-an. Walaupun beberapa dedengkotnya, seperti Kafrawi, M.A., dibantai oleh Menteri Agama Alamsyah  Ratuperwiranegara (1978-1983), toh secara keseluruhan mafia tersebut masih kukuh menopang kegiatan departemen itu. Hal itu terjadi karena kuatnya kohesi para anggotanya, mulai A. Mukti Ali dan Harun Nasution hingga yang baru pulang belakangan dari sana.
Itu lain halnya dengan para pendekar dari Chicago. Nurcholish Madjid berangkat dari keterbukaan sikap yang ditunjukkan peradaban Islam di puncak kejayaannya, sekitar sepuluh abad lalu: keterbukaan yang membuat Islam mampu menyerap yang terbaik, dari mana pun datangnya. Proses penyergapan itu menjadikan Islam agama yang sarat dengan nilai universal yang dianut umat manusia secara tidak berkeputusan. Karenanya, Nurcholish Madjid selalu menekankan pentingnya mencari persamaan di antara semua agama dan semua kebudayaan.
Sikap memisahkan diri dari universalitas peradaban manusia hanya akan menyempitkan Islam sendiri, sebagai cara hidup bagian cukup besar dari umat manusia. Inklusivitas Islam haruslah dipertahankan kalau vitalitas agama terakhir itu ingin dapat dilestarikan. Sebab, keharusan mengembangkan inklusivitas Islam itu, dalam pandangan Nurcholish, hanya dapat terwujud dalam lembaga politik formal Islam. Terkenal sekali semboyan Nurcholish: “Islam yes, partai politik (Islam) no”.
Sudah tentu pendekatan kultural Nurcholish Madjid itu bertabrakan langsung dengan pandangan Amien Rais. Wakil Ketua PP Muhammadiyah itu terkenal dengan orientasi “cara hidup Islami” yang ditumbuhkannya di kampus-kampus selama ini. Cara hidup tersebut bermula dari kesungguhan berpegang pada Islam sebagai sumber nilai-nilai yang unik.
Nilai-nilai tersebut dapat saja dikembangkan umat agama atau paham lain, tetapi sebagai sistem akan memiliki kekhasan sendiri. Menurut pandangan ini, mau tidak mau kaum muslim harus memperhatikan dunia politik, yang akan melestarikan kekhasan Islam melalui pelestarian nilai-nilainya dalam sebuah sistem sosial yang utuh. Arti kekuasaan politik menjadi sangat penting sebagai alat upaya pelestarian itu.
Itu lain halnya dengan pandangan Syafi’i Ma’arif, yang tidak begitu risau dengan prospek kekhasan Islam sebagai sebuah sistem seperti anggapan Amien Rais. Ia lebih dekat pada pandangan Nurcholish, yang mengutamakan aspek kultural Islam. Tetapi, sebagai “orang organisasi”, ia juga menekankan arti penting upaya memasuki pusat-pusat kekuasaan (power centers).
Dengan memiliki kewenangan pemerintahan, orang-orang gerakan Islam (Islamic movements) dapat lebih jauh lagi mengembangkan Islam sebagai “budaya bangsa”. Mungkin akan lebih nges kalau pandangan ini disemboyankan sebagai “Islam yes, politik Islam yes”.
Cukup besar perbedaan antara ketiga pandangan itu. Dan itulah yang menjadi ciri “kesatuan” antara ketiga pendekar Chicago itu. Mereka sama-sama memiliki komitmen untuk mengembangkan Islam sebagai cara hidup, dalam bentuk sistematik atau “hanya” kultural. Mereka juga sama-sama merasakan kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan kaum muslim di segala bidang, untuk mengejar ketertinggalan mereka selama ini.
Untuk itu, mereka sependapat tentang perlunya perubahan mendasar dalam pandangan hidup kaum muslim: etos dan disiplin kerja serta etika sosial mereka. Dalam merumuskan kelayakan upaya-upaya itulah terjadi “perbedaan dalam kesatuan” antara mereka bertiga.
Nurcholish, dalam kegairahan meneguk “air kehidupan” dari berbagai sumber, melontarkan “kesamaan dasar” antara Islam dan agama-agama besar lain, yang terwujud dalam nilai-nilai universal yang dimilikinya. Kontan pandangan “aneh” ini digebuk beramai-ramai oleh kalangan umat (baca: gerakan) Islam. Ridwan Saidi dan Daud Rasyid “menguliti”-nya tanpa kasihan dan menuntut agar Nurcholish “bertobat”.
Sebenarnya, kalaupun Nurcholish dapat dipersalahkan, hal itu hanya terletak pada generalisasinya atas “kesamaan” antara Islam dan agama-agama lain. Ia tidak merumuskan hal itu sebagai sesuatu yang relatif, yang masih memungkinkan Islam dibedakan secara kategoris dari sudut pandang teologis.
Bagaimanapun, hal seperti itu tidak akan bisa diterima umat Islam. Ia seharusnya menyatakan bahwa secara teologis ada perbedaan esensial antara semua agama di dunia karena unikum masing-masing. Namun unikum itu harus “dikendalikan” dan “dipertalikan” dengan memberikan perlakuan dan kedudukan yang sama bagi semua warga negara di mata hukum negara. Kalau ini yang dikemukakannya, tentu tak ada yang keberatan terhadap pandangan Nurcholish.
Yang menarik, kedua pendekar lainnya dari Chicago tidak membelanya dari serangan Ridwan Saidi. Itu berarti antara mereka tampaknya tidak ada hohesi kuat. Benarkah demikian?

Tulisan ini disalin ulang dari Tempo No.9/XXII 27 Maret 1993